Enggak tahu, apakah karena paham, apatis, atau mungkin bingung ya. Kok bisa si itu ke sini, ya? Kok bisa yang itu enggak jadi diusung, ya? Kok bisa partai itu balik mendukung lawannya dulu, ya?
Politik memang membingungkan. Sebab, politik memiliki logika sendiri. Maka dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Dari sebab itu, tidak mengherankan orang kadang mengatakan bahwa politik itu kotor. Politik itu dunia yang tidak jujur, penuh tipu daya, dan permainan licik, serta taktik palsu.
Tadinya saya pikir, partai politik mengambil putusan memilih jagoan calon pilkada ini dengan prinsip terkenal Latin “minus malum”, atau “yang paling sedikit buruknya di antara yang buruk-buruk”. Ternyata pilihannya malah “maior malum”, atau “yang keburukannya sedikit lebih banyak di antara banyak (orang) yang buruk-buruk”.
Saya jadi ingat pada diktum yang konon katanya dari Romo Franz Magnis Suseno, S.J., “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.” Kata-kata ini selalu dimunculkan setiap pemilu dan pilkada. Pilihlah yang kadar keburukannya lebih sedikit, begitu kira-kira maknanya. Mirip dengan “minus malum” tadi.
Pilkada untuk mencegah yang terburuk berkuasa terdengar sangat tendensius. Seakan-akan hanya sebuah tujuan minimal saja. Pragmatis minimalis. Pemilu seharusnya memilih yang terbaik di antara yang baik-baik. Tapi mungkinkah itu terjadi? Justru itu yang harus kita tuju.